Saturday, 24 March 2018

KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM


KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM



Ahmadireja*
*STAI Muhammadiyah Tulungagung
dirja2013@gmail.com
Abstract
Leadership  in  Islam  occupies  a  very  strategic position. Because leadership is an instrument to achieve the lofty ideals of a nation. Namely the creation of a nation that "baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur" (the nation's good, prosperous and  under  the  protection  of  Allah).  Therefore, Islam put considerable attention to the issue of leadership.  Studies  of  leadership  in  Islam,  the term used is the word caliph, the priest, ulil amr and al-mulk.
Kata Kunci : Pendidikan, Tata Nilai, Kebudayaan.



Pendahuluan 
Pada  tahun  1925,  goncangan  pemikiran  hebat  terjadi  di
Mesir. Gara-gara terbit sebuah kitab berjudul     Al-Islam wa Ushul al-
Hukm-Bahts fi al-Khilafah wa al-Hukumah fi al-Islam  . Kitab tersebut
memaklumatkan bahwa Islam tidak mengatur masalah kekhalifahan, pemerintahan dan negara.1  Merujuk pada doktrin Injil dinyatakan, ”Berikan  kepada  Kaisar  apa  yang  menjadi  haknya  dan  berikan kepada Tuhan apa yang menjadi hak-nya.” (Matheus: 22).
Respons  terhadap  kitab  tersebut  luar  biasa.  Kemarahan ulama  Mesir  sedemikian  hebat.  Berdiri  di  garis  terdepan,  Syekh Rasyid  Ridha’,  ia  memvonis  bahwa  pemikiran   penulis  kitab  itu




1

Dhiya ad-Din,   al-Islam wa al-Khalifah fi al-Ashr al-Hadits: Naqd Kitab al-

Islam wa Ushul al-Hukm (Cairo: Maktabah Dar at-Turats, 1392), hlm. 43.

 Konsep Kepemimpinan dalam Islam  Ahmadireja   534




adalah pemikiran yang kacau, menyeleweng, dan     mulhid            (murtad).2 
Terlebih yang menulis adalah       Syeikh Ali Abdul Raziq    , Ulama al-
Azhar Universty, mantan Menteri Waqf Mesir, Hakim Mahkamah
Syari’ah, yang dikalangan intelektual Mesir degelari        al-Ustadz al-
Muhaqqiq, al-Alamah al-Kabir.
Ulama  Mesir  kemudian  terbelah  menjadi  dua  kelompok
besar.   Pertama, ulama yang mendukung dan membela mati-matian
pemikiran    Syeikh  Ali  Abdul  Raziq  seperti  Ahmad  Lutfi  Sayyid,
Thaha Husein dan Muhammad Husein Heikal. Dalam perkembangan berikutnya Heikal bertobat dan menginsafi kesalahannya. Lantas ia
balik  menyerang  pemikiran    Syeikh  Ali  Abdul  Raziq     dengan
karyanya, “Daulat Islamiyat  ”.         Kedua, ulama yang menentang habis-
habisan pemikiran    Syeikh Ali Abdul Raziq  . Ia adalah Syekh Rasyid
Ridha, murid kesayangan Muhammad Abduh.
Kontroversial tersebut akhirnya membawa pengaruh yang cukup besar dalam percaturan pemikiran intelektual muslim dunia. Bahkan  menjadi cikal-bakal munculnya  perbedaan  pada  generasi- generasi  sesudahnya.  Hingga  saat  ini  kajian  Islam  tentang   kekhalifahan, selalu diwarnai oleh dua pandangan besar tersebut, ada yang mendukung dan ada pula yang menolak. Termasuk di kalangan intelektual muslim Indonesia. Seperti silang pendapat yang terjadi antara Muhammad Natsir dan Nurcholish Madjid tahun 1970. Topik yang diperbincangkan adalah Islam dan Negara.3 
Kepemimpinan  (  imamah)  yang  merupakan  bagian  tak
terpisahkan dari kekhalifahan atau pemerintahan yang menjadi fokus tulisan  ini,  juga  tidak  lepas  dari  perbedaan  pandangan  tersebut.
Dalam  Tarikh  Islam,    imam           (pemimpin)  menjadi  penyebab  utama
perpecahan umat Islam pasca wafatnya Rasulallah SAW. Puncaknya
saat tebunuhnya Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.4  
Masing-masing pihak mempunyai kriteria berbeda dalam memilih dan menetapkan seorang imam. Pengikut Ali bin Abi Thalib  berpendapat bahwa yang berhak menjadi imam adalah Ali bin Abi Thalib dan keturunannya. Dikemudian hari mereka dikenal dengan
kaum Syi’ah. Lainnya berpandangan bahwa semasa hidup Rasulallah
tidak berwasiat tentang siapa penggantinya,  maka siapapun boleh menjadi imam asalkan sejalan dengan  Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Kelompok ini menamakan diri kaum Mu’tazilah. 


2 Fahri,  Islam dan Pancasila dalam Pandangan Nurcholish Madjid          (Malang: UMM Press, 1996), hlm. 168.
3 Harun  Nasution, Islam  Ditinjau  dari  Berbagai  Aspek         (Jakarta:  UI  Press, 1987), t.h.

4

Harun Nasution,    Insiklopedi  Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992),

t.h.

 535                   Edukasi   , Volume 02, Nomor 02, November 2014: 533-549




Lantas  ada  satu  kelompok  lagi,  kelompok  ini  adalah kumpulan orang-orang yang kecewa dan tak berpihak pada kedua-
duanya,  yang  disebut  dengan  kaum      Khawarij.  Slogan  terkenal
mereka adalah ”  la hukm illa lillah  ” (pengadilan hanyalah di tangan
Allah). Dalil yang menjadi rujukan mereka adalah  ”Dan barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah SWT,  maka  mereka  itu  adalah  orang-orang  kafir,”  (QS.  Al- Maidah:44).  



Makna Kepemimpinan
Pasca khalifaturrasidin, pengkafiran sesama muslim makin
marak.  Persoalannya  terletak  pada  siapa  yang  pantas  menjadi
khalifah (pemimpin)?  Selain  itu  dan  ini  menjadi  kajian  menarik
adalah persyaratan apa saja yang harus ada pada diri seorang   khalifah
dan apa misi yang dibawa dan diemban oleh seorang khalifah di muka  bumi  ini?    Banyak  term  yang  digunakan  al-Qur’an  dalam
membahas tentang kepemimpinan, yaitu;   al-Imam, al-Khilaafah, Ulil
Amri, dan al-Malik.5
Al-Imam adalah suatu istilah yang berarti pemuka, dipakai
dalam berbagai aspek kehidupan. Sejak awal istilah imam digunakan
guna menyebut seseorang yang memimpin (    amma) salat berjama’ah
diantara para partisipan (  ma’mun). Ikatan yang demikian erat dengan
dimensi  keagamaan  kelihatannya  menjadikan  kurang  dikaitkan dengan politik, sebagaimana dapat dilihat dari penggunaan khalifah bukan imam pada Abu Bakar dan penerusnya.
Istilah  imam  akhirnya  mengalami  perkembangan  yang cukup luas, tidak hanya digunakan sebatas dalam pemimpin spritual
dan penegak hukum, tapi lebih dari itu juga digunakan dalam          ke-
khalifahan (pemerintahan)  dan     amirulmu’minin (pemimpin  orang
mukmin). Para ulama mengartikan Imam sebagai orang yang dapat diikuti dan ditauladani serta menjadi orang yang berada di garda terdepan. 
Rasulullah  adalah  imamnya  para  imam,  khalifah  adalah imamnya rakyat, dan al-Qur`an adalah imamnya kaum muslimin. Sesuatu  yang  dapat  diikuti tidak  hanya  manusia,  tapi  juga  kitab. Kalau manusia, maka yang dapat ditauladani ialah perkataan dan perbuatannya. Kalau kitab, maka yang dapat diikuti dan dipedomani adalah ide dan gagasan-gagasannya. 
Khalifah,   dilihat dari segi bahasa akar katanya terdiri dari
tiga huruf yaitu kha`                , lam dan     fa. Kata           khalifa yang berasal dari kata

5

Ibid., hlm. 604.

 Konsep Kepemimpinan dalam Islam  Ahmadireja   536




kerja   khalafa berarti pengganti atau penerus. Dalam al-Qur’an (al-
Baqarah:30;  Shad:26)  kata  khalifah  mengacu  kepada  pengertian ”penerima  otoritas  di  atas  bumi  yang  bersumber  dari  Tuhan”. Dengan demikian, pengertian istilah khalifah sebagaimana lazimnya
dipergunakan adalah merupakan produk pengalaman umat setelah
meninggalnya Nabi. Sebelum wafatnya, istilah khalifah belum ada.6  Para ulama, memaknai kata khalifah menjadi tiga macam
arti yaitu mengganti kedudukan, belakangan dan perubahan. Dalam al-Qur`an  ditemukan  dua  bentuk  kata  kerja  dengan  makna  yang
berbeda.  Bentuk  kata  kerja  yang  pertama  ialah      khalafa-yakhlifu
dipergunakan untuk arti “mengganti”, dan bentuk kata kerja yang
kedua  ialah        istakhlafa-yastakhlifu dipergunakan  untuk  arti
“menjadikan”.
Pengertian  mengganti  dapat  merujuk  pada  pergantian generasi ataupun pergantian jabatan kepemimpinan. Tetapi ada satu hal yang perlu dicermati bahwa konsep yang ada pada kata kerja
khalafa disamping  bermakna  pergantian  generasi  dan  pergantian
kedudukan  kepemimpinan,  juga  berkonotasi  fungsional  artinya seseorang yang diangkat sebagai pemimpin dan penguasa di muka bumi mengemban fungsi dan tugas-tugas tertentu.
Jamak dari kata khalifah ialah khalaif dan khulafa. Term ini
dipergunakan untuk pembicaraan dalam kaitan dengan manusia pada
umumnya dan orang mukmin pada khususnya. Sedangkan       khulafa
dipergunakan    al-Qur`an  dalam  kaitan  dengan  pembicaraan  yang tertuju kepada orang kafir. 
Ulul  al-Amr,   istilah  ini  terdiri  dari  dua  kata  yaitu;    Ulu
artinya pemilik dan al-Amr artinya perintah atau urusan. Kalau kedua
kata  tersebut  digabung,  maka  artinya  ialah  pemilik  kekuasaan.
Pemilik kekuasaan di sini bisa bermakna Imam dan    Ahli al-Bait, bisa
juga bermakna para penyeru ke jalan kebaikan dan pencegah ke jalan kemungkaran, bisa juga bermakna fuqaha dan ilmuan agama yang taat kepada Allah SWT.7 
Al-Malik,   akar kata nya terdiri dari tiga huruf, yaitu      mim,
lam dan   kaf, artinya ialah kuat dan sehat. Dari akar kata tersebut
terbentuk  kata  kerja    Malaka-Yamliku artinya  kewenangan  untuk
memiliki  sesuatu.  Jadi  term      al-Malik bermakna  seseorang  yang
mempunyai kewenangan untuk memerintahkan sesuatu dan melarang sesuatu dalam kaitan dengan sebuah pemerintahan. Tegasnya term


6
Ibid., hlm. 85.
7
Iqbal, Negara Ideal Menurut Islam (Jakarta: Ladang Pustaka & Intimedia,
2002),  hlm.  27.
 537                   Edukasi   , Volume 02, Nomor 02, November 2014: 533-549




al-Malik itu ialah nama bagi setiap orang yang memiliki kemampuan
di bidang politik dan pemerintahan. 



Dalil Kepemimpinan
Semua ulama dan fuqaha dari generasi ke generasi sepakat bahwa untuk menjalankan sebuah roda pemerintahan atau khilafah merupakan  kewajiban  agama  yang  sangat  agung.  Mereka menggunakan argumentasi fundamental dan esensial yang dinukilkan langsung dari nash sharih al-Qur’an, al-Hadits dan kaidah-kaidah ushul fiqh.
Dalil  al-Qur’an  yang  membahas  tentang                 imamah
(kepemimpinan)  dapat  ditelusuri  dan  dikaji  sebagaimana  yang difirmankan Allah SWT;
                                                       
...                    


“Sesungguhnya  Allah  menyuruh  kamu  menyampaikan  amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila mendapatkan hukum dan antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil...,” (QS.An-Nisa:58)8 
Firman Allah SWT tersebut adalah perintah umum yang mencakup  semua  bentuk  amanah.  Agama  adalah  amanah  dan syari’ah adalah amanah. Adapun hukum dan syari’ah adalah amanah. Dan seorang pemimpin yang melaksanakan syari’ah adalah amanah. Disinilah letak wajibnya memilih seorang khalifah atau pemimpin.
Ibnu  Jarir  menegaskan  bahwa    asbabun  nuzul (sebab-sebab  turun
ayat) QS. An-Nisaa:58 tersebut  adalah berkenaan dengan perintah
wullatul amr (pemimpin yang sah).9  
Iqbal  dengan  mengutip  perkataan  Ali  bin  Abi  Thalib sebagaimana yang diriwayatkan oleh Mushab ibn Sa’ad, mengatakan “Hak  atas  seorang  imam  adalah  menghukumi  dengan  apa  yang diturunkan Allah SWT dan menyampaikan amanah. Apabila seorang imam telah melaksanakan semua itu, maka wajib bagi manusia untuk mendengarkan,  mentaati  dan  menjawab  panggilannya.  Perkataan yang paling mulia menurutku, adalah orang yang mengatakan al-


8
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Depag RI, 1971), hlm. 128.
9
Ibid,  hlm. 28.

 Konsep Kepemimpinan dalam Islam  Ahmadireja   538




Qur’an  adalah  kitab  Allah    dan  melaksanakan  amanah  yang
dilimpahkan melalui wewenangnya secara adil dan bijaksana”.10   
Syaikhul Islam, Ibn Taymiyah berkata bahwa ayat tersebut merupakan kalam Allah yang sangat berharga dalam memberikan interpretasi  tentang  perlunya  ketaatan  dan  kepatuhan  terhadap pemerintahan sesuai dengan karakteristik negara Islam, sebagaimana yang  difirmankan    oleh  Allah  SWT  dalam  ayat  selanjutnya  dari QS.al-Nisa’, ”Hai orang-orang  yang beriman, taatilah Allah SWT dan taatilah rasul-Nya dan ulil amr diantara kamu. Kemudian jika kamu  berlainan  pendapat  tentang  sesuatu  maka  kembalikanlah  ia kepada  Allah  SWT  (al-Qur’an)  dan  rasul  (al-Hadits)  jika  kamu benar-benar beriman kepada Allah SWT dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik takwilnya ” (QS. Al-Nisa’:59).
Bila diteliti dan ditelaah secara seksama dan komprehensip terlihat bahwa kedua ayat tersebut mencakup rukun-rukun sebuah
khilafah  atau  pemerintahan  yang  terdiri  dari;            pertama,  para
pemegang kekuasaan hukum ialah    wullatul amr (pemerintahan yang
sah) sesuai petunjuk syar’i dan menjalankan hukum-hukum syari’at.
Kedua, al-Ummah (masyarakat) mempunyai kewajiban untuk tunduk
dan taat pada   ulil amr . Ketiga, peraturan, perundang-undangan dan
disiplin hukum yang berlaku yaitu syari’at agama Islam.
Pembahasan  tentang  kepemimpinan  yang  bersumberkan pada  dalil  Hadits  Nabi  Muhammad  SAW,  cukuplah  banyak diantaranya  yang  cukup  populer  adalah  ”Setiap  kamu  adalah pemimpin  dan  setiap  kamu  bertanggungjawab  atas kepemimpinannya,  seorang  imam  adalah  pemimpin  dan  ia bertanggungjawab  atas  kepemimpinannya.  Seorang  suami  adalah pemimpin pada anggota keluarganya dan ia bertanggungjawab atas kepemimpinannya”. (HR. Buhori).
Tak kalah jelasnya adalah Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh  Muslim  yang  artinya,  ”Barangsiapa  melepaskan  tangan  dari mentaati (imamnya), ia akan menemui Allah pada hari kiamat tanpa punya pembela bagi dirinya. Barangsiapa mati sedangkan dirinya tidak  ada  bai’at  (kepada  imam)  maka  ia  mati  dalam  keadaan Jahiliyah” (HR. Muslim). 
Hadits yang kedua ini yang dijadikan rujukan dan pedoman bagi  sebagian  umat    Islam  yang  mengikatkan  diri  dalam  sebuah bai’at  kepemimpinan.  Sekalipun  hal  tersebut  terkesan  sangat dipaksakan  dan  mengada-ada  yang  berakibat  pada  penafian

10

Ibid., hlm. 33.

 539                   Edukasi   , Volume 02, Nomor 02, November 2014: 533-549




rasionalitas dan akal pikiran yang sehat.  Pemahaman yang kurang tepat  terhadap  Hadits  tersebut  berakibat  pada  pengkultusan kepemimpinan yang berlebihan. Bahkan melebihi kepada Tuhan dan Nabi-nya. Padahal Nabi sendiri telah mengingatkan umatnya untuk tidak  mengkultuskan  pemimpin.  Karena  dihadapan  Allah  SWT semua  sama  yang  membedakan  hanyalah  kadar  keimaman  dan ketaqwaannya.
Sekalipun demikian, tidak berarti umat Islam kurang peduli dan  tidak  perhatian  terhadap  masalah  kepemimpinan.  Semuanya diatur  dan  diukur  secara  adil  dan  bijaksana.  Disepakati  kalangan ulama’ dan fuqaha bahwa terdapat keharusan adanya seorang imam guna menyatukan suara umat dan mengurus kepentingan keduniaan maupun keagamaannya. 
Kesadaran akan pentingnya masalah kepemimpinan, maka sepeninggal Rasulullah SAW, para sahabat menaruh perhatian besar untuk segera memilih dan mengangkat seorang imam. Abu Bakar akhirnya dipercaya untuk mengemban amanah berat tersebut yang kemudian dikenal dengan istilah khalifah. Umat Islam pun  terhindar dari keretakan dan perpecahan.
Tidak dipungkiri mendalami ajaran Islam yang agung dan benar, memilih seorang pemimpin bukan tujuan final dari substansi agama,  tetapi  ia  merupakan  kelaziman  zaman.  Disadari  bahwa
kewajiban agama tidak mungkin diterapkan secara komprehensip dan
simultan tanpa adanya pranata-pranata yang kongkrit. 
Pranata-pranata  tersebut  dimungkinkan  untuk melaksanakan  kewajiban  syari’at  ilahiyah.  Maka  dalam  sebuah kaidah fiqih dinyatakan, ”Mala yatimmu al-wajibu illa bihi fahuwa wajibun” (Jika kewajiban tidak bisa sempurna kecuali dengannya, maka ia hukumnya adalah wajib).11 
Kesempurnaan tegaknya nilai-nilai al-Qur’an dan al-Hadits dalam suatu masyarakat, bangsa dan negara hanya dapat diwujudkan dengan  sesungguhnya  bila  didukung  oleh  pranata  yang mengiringinya.  Imam  atau    pemimpin  adalah  pranata  yang mengiringi terwujudnya tegaknya nilai-nilai al-Qur’an dan al-Hadits, maka  adalah  wajib  hukumnya    bagi  masyarakat  muslim  untuk memilih dan menetapkan seorang pemimpin. 
Imam  al-Mawardi  dalam  kitab     al-Ahkam  al-Sulthaniyah
sebagaimana yang dikutip Iqbal mengatakan, ”   Aqdul imamati liman
yaqumu biha fi al-Ummati wajibun bil ijma’i      ” (mengangkat imam
untuk  mengurusi  umat  hukumnya  adalah  wajib  menurut  ijma’).

11

Ibid., hlm. 35.

 Konsep Kepemimpinan dalam Islam  Ahmadireja   540




Sehingga  ia  bisa  mengurusi  umat  agar  agama  terjaga  dengan wewenangnya dan  berjalan sesuai dengan rule dan menurut sunnah- sunnah agama dan hukum-hukumnya.
Bagi  seorang  fuqaha  sebagaimana  Imam  Ahmad  ibn Hambal mengatakan, bila tidak adanya seorang pemimpin maka akan berakibat timbulnya suatu fitnah. Fitnah ini harus dicegah karena
berakibat    pada  kehancuran  dan  kerusakan  (      fasad).  Mencegah
kehancuran dan kerusakan  adalah kewajiban. 
Mengangkat seorang imam atau pemimpin adalah wajib. Karena itu utamakan dan segerakan serta tak boleh ditunda-tunda.
Perkataan beliau yang populer dalam hal ini adalah, ”    al-Fitnatu idza
lamyakun  imamun  yakumu  bi  amrinnasi    (Adalah  fitnah  apabila
tidak ada imam yang berdiri mengurusi manusia).
Pemahaman  yang  bijak  dan  mulia  tentang  pentingnya sebuah  kepemimpinan  juga  dikemukakan  oleh  generasi-generasi sesudahnya, Syeikhul Islam Ibn Taymiyah  yang hidup pada abad pertengahan menyatakan bahwa membentuk pemerintahan dengan jalan  religuitas  dan  mengangkat  kepemimpinan  sesuai  dengan
syari’ah adalah   manhaj (jalan) merintis ketentraman untuk menjaga
umat dan menjaga harta benda.



Prinsip Dasar Pemimpin
Impian  dan  harapan  besar  umat  terhadap  pemimpin, mengantarkan  betapa  penting  dan  berartinya  peran  seorang pemimpin dalam mendesain sebuah masyarakat, bangsa dan negara. Sejarah membuktikan, kejayaan dan keemasan sebuah bangsa  sangat ditentukan oleh kualitas dan kapasitas para pemimpinnya. 
Sebaliknya  sebuah  bangsa  yang  sebelumnya  besar  dan beradab hancur dan tak berarti karena kerakusan, keserakahan dan buruknya sikap mental  para pemimpinnya. Suatu contoh, hancurnya Daulah  Umayyah  dan  Daulah  Abbasiyah,  lebih  disebabkan  oleh karena penerus tahta mahkota kekhalifahan berada di tangan-tangan
pemimpin  yang  lemah  dan  tak  bermoral.       Hubbuddunnya (cinta
dunia)  lebih  kentara  dan  lebih  lekat  dibanding  dengan       hubbul-
akhirah (cinta akhirat).
Islam  memberikan  dasar-dasar  normatif  dan  filosofis tentang kepemimpinan  yang bersifat komprehensip dan universal. Tidak hanya untuk umat Islam tapi juga untuk seluruh umat manusia. Prinsip-prinsip kepemimpinan dalam Islam adalah sebagai berikut;
pertama,  hikmah,  ajaklah  manusia  ke  jalan  Tuhan-mu  dengan
hikmah  dan  nasehat  yang  baik  lagi  bijaksana  (QS.  al-Nahl:125).

 541                   Edukasi   , Volume 02, Nomor 02, November 2014: 533-549




Kedua, diskusi, jika ada perbedaan dan ketidaksamaan pandangan,
maka seorang pemimpin menyelesaikan dengan diskusi dan bertukar pikiran (QS. al-Nahl:125).12 
Ketiga ,   qudwah,  kepemimpinan  menjadi  efektif  apabila
dilakukan tidak hanya dengan nasihat tapi juga dengan ketauladanan yang baik dan bijaksana (QS. al-Ahdzab:21). Pepatah mengatakan, satu ketauladanan yang baik lebih utama dari seribu satu nasehat. Memang kesan dari sebuah keteladanan lebih melekat dan membekas dibanding hanya sekedar nasehat seorang pemimpin. 
Keempat,  musyawwarah,  adalah  suatu  bentuk  pelibatan
seluruh  komponen  masyarakat  secara  proporsional  dalam keikutsertaan  dalam  pengambilan  sebuah  keputusan  atau kebijaksanaan    (QS.  Ali  Imran:159,  QS.  As-Syura:38).  Dengan musyawwarah, maka tidak ada suatu permasalahan yang tak dapat
diselesaikan. Tentu dengan prinsip-prinsip      bilhikmah wamauidhatil
khasanah yang  harus  dipegang  teguh  oleh  setiap  komponen
pemerintah atau imamah. 
Kelima,       adl,  tidak  memihak  pada  salah  satu  pihak.
Pemimpin yang berdiri pada semua kelompok dan golongan, (QS.al- Nisa’:58&135,  QS.  al-Maidah:8)  Dalam  memimpin  pegangannya
hanya  pada  kebenaran,     shirathal  mustaqim    (jalan  yang  lurus).
Timbangan dan ukurannya bersumber  pada al-Qur’an dan al-Hadits.  Kecintaannya hanya karena Allah dan kebencian pun hanya karena Allah.  Hukum menjadi kuat tidak hanya saat berhadapan dengan orang lemah, tapi juga menjadi kuat saat berhadap-hadapan dengan orang kuat. 
Keenam,  kelembutan  hati  dan  saling  mendoakan.
Kesuksesan  dan  keberhasilan  Rasulallah  dan  para  sahabat  dalam memimpin umat, lebih banyak didukung oleh faktor performa pribadi Rasul dan para sahabat yang lembut hatinya, halus perangainya dan santun perkataannya. Maka Allah SWT menempatkan Muhammad Rasulallah  sebagai  rujukan  dalam  pembinaan  mental  dan  moral sebagaimana firmannya, ”Laqad kana lakum fi Rasulillahi uswatun hasanah” (Sungguh ada pada diri Rasul suri tauladan yang baik), (QS. al-Ahdzab:21 dan al-Qalam:10).
Ketujuh, dari  prinsip  dasar  kepemimpinan  Islami  adalah
kebebasan  berfikir,  kreativitas  dan  berijtihad.  Sungguh  amat  luar biasa, sepeninggal Rasulallah para sahabat dapat menunjukkan diri sebagai sosok pemimpin yang mandiri, kuat, kreatif dan fleksibel.

12

Wibowo,    SHOOT,  Sharpening  our  Concept  and  Tools   (Bandung:  PT

Syamil Cipta Media, 2002), hlm. 287.

 Konsep Kepemimpinan dalam Islam  Ahmadireja   542




Kelembutan  pribadi  Abu  Bakar  (khalifah  ke-1)  tak menjadikan  dirinya  menjadi  sosok  pemimpin  yang  lemah,  malah sebaliknya ia menjadi pemimpin yang kuat dan tangguh. Tak gentar menghadapi  musuh-musuh  Islam.  Ketegasan  beliau  dibuktikan dengan kesungguhan memerangi para pemberontak, nabi palsu dan kaum yang tak mau membayar zakat.
Kebalikannya  ketegaran  Khalifah  Umar  bin  Khattab (khalifah ke-2) akhirnya menjadi sosok yang lembut, sederhana dan bersahaja.  Sekalipun  ia  seorang  khalifah  dan  menyandang  gelar
amirul mu’minin  , tak menjadikan kehidupan diri dan keluarganya
berubah drastis, bergelimang  harta dan tahta atau menampilkan diri
sebagai sosok pembesar yang suka ”  petentang-petenteng ” dan pamer
kekuasaan. 
Yang  terjadi  justru  sebaliknya,  Umar  bin  Khattab  lebih
menampakkan diri sebagai sosok  yang     low profil high produc  . Tak
salah kiranya bila banyak rakyatnya dan pejabat negara lain yang terkecoh dengan penampilan fisiknya dan tak mengira bahwa yang berdiri  dihadapannya  adalah  seorang  khalifah  yang  disegani  dan dicintai rakyatnya.  
Dua  sosok  pemimpin  penerus  Rasulallah  yang  berbeda karakter tersebut, disaat sama-sama diberi amanah untuk memimpin umat dan mengelola roda pemerintahan yang tampak adalah sosok pemimpin yang banyak dipengaruhi dan diwarnai oleh nilai-nilai al- Qur’an dan al-Hadits. Tidak  sebagai pemimpin yang dipengaruhi dan dikuasai oleh karakter  pribadi dan hawa nafsu.
Kedelapan ,  sinergis  membangun  kebersamaan.
Mengoptimalkan sumber daya insani yang ada. Hebatnya Rasulullah salah satunya adalah kemampuan beliau dalam mensinergikan dan membangun  kekuatan  dan  potensi  yang  dimiliki  umatnya.  Para sahabat  dioptimalkan  keberadaannya.  Keberbedaan  potensi  yang dimiliki sahabat dan umat dikembangkan sedemikian rupa, sehingga menjadi  pribadi-pribadi  yang  tangguh  baik  mental  maupun spritualnya. 
Berbagai misi kenegaraan dipercayakan Rasulallah kepada para  sahabatnya  seperti  misi  ke  Habasyah,  Yaman,  Persia  dan Rumawi.    Muncullah  sosok-sosok  sahabat  seperti  Abu  Dzar  Al- Ghifari, Mu’adz bin Jabal, Salman al-Farisi dan Amr bin Ash. Dalam usia yang relatif muda, mereka sudah memimpin berbagai ekspedisi kenegaraan dan berbagai pertempuran penting.

 543                   Edukasi   , Volume 02, Nomor 02, November 2014: 533-549




Syarat Pemimpin  
Prinsip  dasar  pemimpin  tersebut  sebagaimana  yang digariskan  dalam  al-Qur’an  dan  Sunnah  Nabi,    dalam perkembangannya  mengalami  perluasan  arti  dan  pemahaman. Bahkan tak jarang mengalami pembiasan yang jauh dari prinsip dasar yang sesungguhnya. Hal ini tak lepas dari ”hiruk pikuk” kepentingan politik dan kepentingan kelompok atau  golongan. 
Konsekuensi  dari  kondisi  tersebut  pada  akhirnya berpengaruh pada penentuan syarat-syarat seorang pemimpin yang dirumuskan oleh para ulama dan fuqaha. Pendapat dan ijtihad mereka sangat  tergantung  dan  ditentukan  oleh  situasi  dan  kondisi    yang mengitarinya. Seperti pendapat para ulama dan  fuqaha. 
Al-Mawardi, tokoh utama dari kalangan Qadhi yang hidup pada  abad  pertengahan  menyebutkan  syarat  utama  bagi  seorang
pemimpin yaitu; (1) adil dalam arti yang luas,   (2)  punya ilmu untuk
dapat melakukan ijtihad di dalam menghadapi persoalan-persoalan
dan hukum,13  (3)     sehat pendengaran, mata dan lisannya supaya dapat
berurusan  langsung  dengan  tanggungjawabnya,  (4)      sehat  badan,
sehingga  tidak  terhalang  untuk  melakukan  gerak  dan  melangkah
cepat,  (5)     pandai  dalam  mengendalikan  urusan  rakyat  dan
kemaslahatan  umum,  (6)  berani  dan  tegas  membela  rakyat  dan menghadapi musuh, dan (7) dari keturunan Quraisy.
Ibn Hisyam, ulama fiqih besar pada zamannya menyebut lima syarat yang harus ada pada diri seorang pemimpin. Syarat ini lebih  sederhana  dibandingkan  dengan  al-Mawardi,  yaitu;  (1)  dari
kalangan  Qurasy,  (2)      baligh,  merujuk  pada  sabda  Nabi,    Pena
diangkat dari tiga golongan, anak-anak sampai dewasa, orang gila
sampai sembuh, dan orang tidur sampai sadar”       ,14 (3)   laki-laki,
dasar  yang  digunakan  adalah  sabda  Rasulullah,  ”Tidak  akan beruntung  suatu  kaum  yang  menyerahkan  urusan  mereka  kepada seorang  perempuan”,  (4)  muslim,  karena  Allah  SWT  berfirman ”Allah  tidak  akan  memberikan  jalan  kepada  orang  kafir  untuk
(menguasai) kaum mukmin” (QS. An-Nisa’:141), dan (5)            paling
menonjol  di  dalam  masyarakatnya,  mengetahui  hukum-hukum agama,  secara  keseluruhan  taqwa  kepada  Allah  SWT,  dan  tidak diketahui berbuat fasik.
Al-Ghazali, dalam beberapa bukunya secara ringkas juga membicarakan  tentang  syarat-syarat  seorang  pemimpin.  Ia mengatakan,  ”Tidaklah  diragukan  bahwa  menentukan  seseorang


13 Yusuf Musa,                                                            Politik dan Negara dalam Islam  (Surabaya: Al-Ikhlas, 1990),
hlm. 59.

14

Ibid., hlm. 60.

 Konsep Kepemimpinan dalam Islam  Ahmadireja   544




untuk dijadikan imam sekedar menuruti selera tidaklah boleh. Dia haruslah orang yang memiliki keistimewaan dibandingkan dengan seluruh orang yang ada”. Al-Ghazali kemudian menyebutkan syarat-
syarat sebagai berikut; (1)merdeka, (2) laki-laki,  (3) mujtahid, (4)
berwawasan luas, (5) adil, (6) baligh, dan (7) tidak boleh wanita.15 
Ibn Khaldun,16  seorang kritikus yang tajam dan pembangun sosiologi juga mengetengahkan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh  seorang  yang  menduduki  jabatan  sebagai  seorang  imam
(pemimpin) yaitu;    pertama, berilmu, karena ia menjadi pelaksana
hukum Allah SWT. Ia harus mujtahid dan tidak bertaklid.         Kedua,  
adil,  pemimpin    adalah  jabatan  tertinggi,  selain  menduduki  dan meliputi jabatan keagamaan juga jabatan politik di tengah-tengah umat dan negara.
Ketiga,    punya  kemampuan,  adalah  keberanian  untuk
menegakkan hukum dan menghadapi musuh, ahli strategi dan pandai memobilisasi masyarakat, arif dan peka terhadap keadaan serta kuat
di  dalam  mengendalikan  politik,       keempat, sehat  badan  seperti
selamat dari buta, bisu, tuli dan pekak serta selamat dari cacat mental seperti gila dan hilang akal.
Disadari  oleh  Ibn  Khaldun  cacat  fisik  dan  mental berpengaruh terhadap aktivitas fisik dan berpikir serta menjalankan tugas yang semestinya diemban. Sekiranya cacat sebagian saja, tetap mengurangi kesempurnaan sebagai seorang pemimpin yang tingkat mobilitasnya tinggi. Maka Ibn Khaldun tetap pada pendirinya yaitu memandang kurang memenuhi syarat bagi mereka yang mempunyai cacat fisik untuk menjadi seorang pemimpin. 
Albaqilani, seorang ulama besar membahas secara panjang lebar tentang syarat yang harus dipenuhi oleh seorang imam, terdiri dari; (1) orang Qurasy asli, (2) memiliki ilmu yang tarafnya sama dengan seorang qadhi, 93) harus memiliki pengetahuan yang dalam mengenai urusan perang, (4) kemiliteran dan pasukan tempur, (5) mampu melindungi wilayah dan membela rakyat, dan (6) mampu melakukan pembalasan terhadap orang berlaku dhalim  dan membela orang teraniaya dengan segala kepentingan  yang menyangkut urusan umat.
Selain  itu,  seorang  pemimpin  tidak  lemah  hati,  tidak gampang iba dalam penegakan hukum dan tidak pula bersikap lemah mengambil tindakan terhadap pelanggar hukum. Ia harus menjadi contoh dalam keilmuan dan masalah-masalah lain yang memberikan nilai lebih padanya. 


15
Ibid., hlm. 59.
16
Ibid., hlm. 72.

 545                   Edukasi   , Volume 02, Nomor 02, November 2014: 533-549




Berdasar pada pendapat-pendapat para ulama dan fuqaha tentang syarat seorang imam sebagaimana dipaparkan diatas, bila dikaji lebih mendalam menunjukkan bahwa persyaratan-persyaratan tersebut sangat ditentukan oleh situasi dan kondisi politik dimana para  ulama  dan  fuqaha  berada.  Dan  juga  sejauhmana  kedekatan ulama dan penguasa pada saat itu. Sehingga fatwa yang disampaikan sangat diwarnai oleh kondisi politik yang mengitarinya.
Suatu  contoh  persyaratan  fisik  yang  cukup  ketat  yang dikemukakan  oleh  Ibn  Khaldun,  tak  lepas  dari  kemajuan  dan tingginya mobilitas yang dilakukan pemimpin pada saat itu sebagai cermin  dari  masyarakat  yang  maju.  Demikian  pula  persyaratan tentang  orang  Qurasy,  yang  dikemukakan  oleh  Ibn  Hisyam,  al- Baqilani dan al-Mawardi tak lepas dari keberadaan mereka di Jazirah Arabia  khususnya  dan  Timur  Tengah  pada  umumnya.  Sehingga fatwa-fatwa yang mereka sampaikan sangat kontekstual.
Namun  demikian  bila  ditarik  batas  merah  pemikiran mereka,  sesungguhnya  ada  kesamaan  diantara  para  ulama  dan fuqaha. Kesamaan itu lebih bersifat mayor dari pada  minor, yaitu;
Pertama,  persyaratan  yang  bersifat  fisik.  Artinya,
pemimpin harus memiliki fisik yang prima, sehat, dan kuat. Sebagai ikhtiar  untuk  mendukung  tugas  dan  tanggungjawabnya.  Sehingga mobilitasnya  berjalan  dengan  normal,  lancar  dan  tidak  terganggu oleh  fisik. 
Kedua,  persyaratan  yang  bersifat  mental  dan  spritual.
Seorang pemimpin dituntut untuk memiliki kualitas mental pribadi yang teruji seperti jujur, adil dan terpercaya. Ia sosok orang yang beriman  dan  bertaqwa.    Kualitas  pengamalan  agamanya  tidak diragukan,  dekat  dengan  Tuhannya  dan  dekat  pula  dengan
sesamanya.     Hablum  minallah           dan                         hablum  minannas      sama-sama
terjaga dengan baik.. 
Ketiga , persyaratan yang bersifat keahlian dan kemampuan.
Maksudnya seorang pemimpin itu harus berilmu, berwawasan luas, cerdas, kompeten,  profesional dan bertanggungjawab.



Kepemimpinan Nabi dan Rasul
Kepemimpinan yang sempurna itu hanyalah ada pada diri Nabi dan Rasul. Karena mereka adalah hamba pilihan Allah SWT. Adalah wajar bila umat menjadikan para Nabi dan Rasul itu sebagai rujukan  dan  tauladan  dalam  kepemimpinan.  Salah  satu  caranya dengan menghidupkan kembali nilai-nilai universal kepemimpinan

 Konsep Kepemimpinan dalam Islam  Ahmadireja   546




para Nabi dan Rasul. Nilai-nilai universal tersebut kita tampilkan dalam perspektif kepemimpinan mutakhir saat ini.   
Diantara  Nabi  dan  Rasul  yang  teristimewa  dihadapan Tuhannya adalah Muhammad Rasulallah. Oleh sebab itu, adalah hal yang  seharusnya  bagi  umat  Islam  untuk  menjadikan  figur Muhammad SAW sebagai suri tauladan yang baik. Termasuk dalam hal kepemimpinan. 
Allah  SWT  menyatakan,  ”Sesungguhnya  telah  ada  pada (diri)  Rasulallah  itu  suri tauladan  yang  baik  bagimu  (yaitu)  bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS. Al-Ahdzab:21).  
Pada  Surat  yang  lain  Allah  juga  mengatakan  bahwa, ”Sesungguhnya engkau (Ya Muhammad) mempunyai budi pekerti yang amat tinggi (mulia)” (QS. Al-Qalam:4). Kemudian dipertegas lagi oleh Allah dalam firman-Nya, ”Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah” (QS. Al-Hasyr:7).
Berdasar tiga Surat tersebut, menjadi jelas bagi kita bahwa Muhammad Rasulullah adalah hamba Allah yang diutus dan dipilih untuk dijadikan model atau untuk dijadikan tauladan dalam semua aspek  kehidupan  bagi  umat  sesudahnya.  Termasuk  salah  satunya dalam hal kepemimpinan. Ada empat model kepemimpinan yang melekat pada diri Nabi Muhammad SAW., yaitu :
Siddiq,   secara etimologis berarti benar, jujur, apa adanya,
dan tidak menyembunyikan sesuatu. Ia merupakan lawan kata dari dusta. Dalam konteks yang berbeda, siddiq juga diartikan sebagai
suatu yang haq.   Siddiq terbagi dalam tiga kategori; (1)    siddiq dalam
perkataan, (2) siddiq dalam sikap, dan (3)   siddiq dalam perbuatan. 
Dalam  kehidupannya  para  Nabi  dan  Rasul  senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan kejujuran. Terhindar dari perkataan, sikap dan perbuatan  tidak terpuji, seperti berbohong dan berdusta. Sebagai pemimpin spritual, disamping juga kepala negara
dan   public  figure,  Nabi  Muhammad  SAW  semenjak  kecil  sudah
memposisikan diri dengan sikap dan prilaku yang   siddiq . Disamping
atas kehendak Allah, juga karena kepribadiannya yang mulia lagi
agung.  Sehingga  oleh  masyarakat  Qurasy  diberi  gelar         al-Amin  
(terpercaya).
Amanah, secara etimologis berarti kejujuran, kepercayaan,
titipan dan terkadang diartikan juga dengan keadaan aman. Amanah dibagi dua; amanah dari Allah kepada manusia dan amanah manusia kepada manusia (QS. Al-Ahdzab:72). Amanah yang pertama berupa

 547                   Edukasi   , Volume 02, Nomor 02, November 2014: 533-549




kemampuan  berlaku  adil  dan  tugas-tugas  keagamaan,  sedangkan amanah bentuk kedua adalah mewakilkan kepada orang lain untuk memelihara hak-haknya.
Taba’ taba’iy dalam kitab tafsirnya     al-Mizan mengartikan
amanah  sesuatu  yang  dipercayakan  Allah  kepada  manusia  untuk memeliharanya  demi  kemaslahatan,  kemudian  amanat  itu dikembalikan pada Allah sebagaimana yang dikehendakinya.
Bagi  Rasulullah  kepemimpinan  adalah  amanah  yang pertanggungjawabannya tidak hanya kepada sesamanya namun juga kepada Allah SWT. Sebagai seorang pemimpin agama, pemimpin negara  dan  pemimpin  umat,  Muhammad  Rasulallah  telah menunjukkan kapasitas pribadinya yang amanah. 
Tabligh,  menurut  bahasa  artinya  menyampaikan,
mengutarakan, memberi atau mengeluarkan sesuatu kepada orang lain. Diperluas lagi juga dapat diartikan sebagai suatu ajakan atau dakwah. Karena tugas Nabi dan Rasul adalah menyampaikan risalah dan firman Allah kepada umat manusia. 
Risalah yang disampaikan kepada kaumnya dan atau untuk universalitas umat manusia berisi tentang perintah dan larangan. Tak berhak baginya menambah atau mengurangi. Allah memerintahkan padanya  untuk  menegakkan  yang  makruf  dan  mencegah  yang mungkar serta berlaku bijaksana dalam kedua urusan tersebut, (QS. Ali Imran: 110 dan QS. Al-Nahl:90). 
Kepemimpinan  erat  kaitannya  dengan  tugas  dan tanggungjawab  untuk  menyampaikan  sesuatu  kepada  umat  yang dipimpinnya.  Hukum  dan  aturan  yang  dibuat  Allah  dan diperuntukkan pada umat manusia adalah tugas mulia yang  harus disampaikan para Nabi dan Rasul kepada kaumnya agar terwujud suatu  tatanan  kehidupan  yang  bahagia  di  dunia  dan  bahagia  di akhirat. Disamping memang karena kehendak Allah, para Nabi dan Rasul tersebut telah menjalankan tugas dengan seindah-indahnya dan sebaik-baiknya.
Fathanah, artinya cerdik, pandai, cerdas, pintar dan masih
banyak arti lain yang semisal. Cerdik digunakan untuk membangun dan merancang sebuah strategi atau siasat. Pandai digunakan untuk menyelesaikan  suatu  masalah.  Cerdas  berguna  untuk  percepatan penyelesaian  sebuah  problem,  sedangkan  pintar  digunakan  untuk mecari berbagai macam alternatif  penyelesaian terbaik. 
Sebagai hamba pilihan, para Nabi dan Rasul oleh Allah SWT dianugerahi  tingkat kecerdasan dan kepandaian yang melebihi dari kecerdasan dan kepandaian hamba-Nya yang lain. Kecerdikan

 Konsep Kepemimpinan dalam Islam  Ahmadireja   548




dan  kepandaian  tersebut  dipergunakan  untuk  merancang  cita-cita
luhur umat manusia yaitu;    fiddunya hasanah wafil akhirati hasanah  
(bahagia di dunia dan bahagia pula di akhirat).  
Keempat  model  kepemimpinan  para  Nabi  dan  Rasul
sebagaimana yang dikemukakan di atas;   siddiq, amanah, tabligh dan
fathanah adalah sebuah sifat dan karakter terbaik untuk dijadikan
tauladan  dalam  mengembangkan  potensi  kepemimpinan  individu maupun kelompok.  
Nilai-nilai  yang  terkandung  dalam  sifat    siddiq,  amanah,
tabligh dan   fathanah memiliki kekuatan yang dahsyat dan luar biasa.
Keempatnya  adalah  satu  kesatuan  yang  sinergis  dan  saling melengkapi. Variabel dari sifat-sifat tersebut sudah teruji kesuksesan dan keberhasilannya. Sebagaimana sukses dan berhasilnya para Nabi dan Rasul.
Karakter kepemimpinan sebagaimana yang ada pada Nabi dan Rasul sudah terbukti keberhasilannya. Tugas kita sekarang hanya tinggal mengembangkan karakter kepemimpinan tersebut agar lebih
adpatif dan up to date dengan perkembangan zaman dan waktu.



Penutup
Kepemimpinan  dalam  Islam  menempati  posisi  yang sangat  strategis.  Karena  kepemimpinan  adalah  sebuah  instrumen untuk  mencapai  cita-cita  luhur  sebuah  bangsa  dan  negara.  Yaitu
terwujudnya suatu bangsa yang ”    baldatun thayyibatun wa rabbun
ghafur” (bangsa yang baik, sejahtera dan dibawah lindungan Allah
SWT). Oleh sebab itu, Islam menaruh perhatian yang cukup besar terhadap masalah kepemimpinan.
Kajian kepemimpinan dalam Islam, term yang digunakan
adalah kata   khalifah, imam, ulil amr   dan al-mulk. Pengertian dari
masing-masing  term  merujuk  pada  sebuah  kemampuan  seseorang untuk memposisikan diri sebagai leader (pemimpin) dan leadership (kepemimpinan).
Besar  dan  beratnya  tugas  yang  diemban  seorang pemimpin, maka dipersyaratkan padanya sebuah persyaratan yang kompleks dan komprehensip, meliputi tiga persyaratan utama yaitu; (1)  persyaratan  fisik,  (2)  persyaratan  mental-spritual,  dan  (3) persyaratan keahlian dan kemampuan.
Karakter  kepemimpinan  yang  telah  menunjukkan kesuksesan dan keberhasilan dan ini yang perlu dijadikan tauladan
adalah karakter kepemimpinan para Nabi dan Rasul yaitu ;        siddiq,

 549                   Edukasi   , Volume 02, Nomor 02, November 2014: 533-549




amanah, fathanah dan tabligh    . Empat karakter kepemimpinan ini
yang perlu dikembangkan seiring dengan perkembangan zaman dan waktu. 

Daftar Pustaka
Agustian,  Ary  G.        Rahasia  Sukses  Membangun  Kecerdasan
Emosional dan Spritual. Jakarta:  Arga. 2006.
Amahzun, Muhammad.   Manhaj Dakwah Rasulallah SAW   . Jakarta:
Qisthi Press. 2004.
Depag RI.  Akhlak–Tauhid. Jakarta:  Ditjen Bimbaga Islam. 1983.
Hamka, Buya.    Doktrin Islam yang Menimbulkan Kemerdekaan dan
Keberanian. Jakarta:  Yayasan Idayu. 1983.
Hanafi. Pengantar Theology Islam. Jakarta:  Pustaka al-Husna. 1987.
Iqbal M & Ali Fattah.     Negara Ideal Menurut Islam, Kajian Teori
Khilafah dalam Sistem Pemerintahan Modern  . Jakarta: Ladang
Pustaka & Intimedia. 2002.
Reynolds,  Joe.      Kepemimpinan  Garis  Terdepan,  Menemukan,
Mengembangkan dan Menjalankan Potensi Anda  . Yogyakarta: 
Aditya Media. 1996.
Musa, Yusuf M.     Politik dan Negara dalam Islam    . Surabaya: Al-
Ikhlas. 1990.
Nasution  dkk.   Ensiklopedi  Islam  Indonesia  .  Jakarta:  Djambatan.
2002.
Wibowo  dkk.     SHOOT,   Sharpening  Our  Concept  and  Tools      .
Bandung: PT Syaamil Cipta Media. 2002.
Wahyudi,  Nafiri  Imam.         Sistematika  Ajaran  Islam    .  Malang:
Universitas Brawijaya. 1997.


No comments:

Post a Comment