537 Edukasi , Volume 02, Nomor 02, November 2014: 533-549
al-Malik itu
ialah nama bagi setiap orang yang memiliki kemampuan
di
bidang politik dan pemerintahan.
Dalil Kepemimpinan
Semua
ulama dan fuqaha dari generasi ke generasi sepakat bahwa untuk menjalankan
sebuah roda pemerintahan atau khilafah merupakan kewajiban
agama yang sangat
agung. Mereka menggunakan
argumentasi fundamental dan esensial yang dinukilkan langsung dari nash sharih
al-Qur’an, al-Hadits dan kaidah-kaidah ushul fiqh.
Dalil al-Qur’an yang
membahas tentang imamah
(kepemimpinan) dapat
ditelusuri dan dikaji
sebagaimana yang difirmankan
Allah SWT;
...
“Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyampaikan
amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
mendapatkan hukum dan antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil...,”
(QS.An-Nisa:58)8
Firman
Allah SWT tersebut adalah perintah umum yang mencakup semua
bentuk amanah. Agama
adalah amanah dan syari’ah adalah amanah. Adapun hukum dan
syari’ah adalah amanah. Dan seorang pemimpin yang melaksanakan syari’ah adalah
amanah. Disinilah letak wajibnya memilih seorang khalifah atau pemimpin.
Ibnu Jarir menegaskan
bahwa asbabun nuzul
(sebab-sebab turun
ayat)
QS. An-Nisaa:58 tersebut adalah
berkenaan dengan perintah
wullatul amr
(pemimpin yang sah).9
Iqbal dengan
mengutip perkataan Ali
bin Abi Thalib sebagaimana yang diriwayatkan oleh
Mushab ibn Sa’ad, mengatakan “Hak
atas seorang imam
adalah menghukumi dengan
apa yang diturunkan Allah SWT dan
menyampaikan amanah. Apabila seorang imam telah
melaksanakan semua itu, maka wajib bagi manusia untuk mendengarkan, mentaati
dan menjawab panggilannya.
Perkataan yang paling mulia menurutku, adalah orang yang mengatakan al-
8
|
Depag RI, Al-Qur’an dan
Terjemahnya (Jakarta: Depag RI, 1971), hlm. 128.
|
9 |
Ibid, hlm. 28.
|
Konsep Kepemimpinan dalam Islam
– Ahmadireja 538
Qur’an adalah
kitab Allah dan
melaksanakan amanah yang
dilimpahkan
melalui wewenangnya secara adil dan bijaksana”.10
Syaikhul
Islam, Ibn Taymiyah berkata bahwa ayat tersebut merupakan kalam Allah yang
sangat berharga dalam memberikan interpretasi
tentang perlunya ketaatan
dan kepatuhan terhadap pemerintahan sesuai dengan
karakteristik negara Islam, sebagaimana yang
difirmankan oleh Allah
SWT dalam ayat
selanjutnya dari QS.al-Nisa’, ”Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah
SWT dan taatilah rasul-Nya dan ulil amr diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu
maka kembalikanlah ia kepada
Allah SWT (al-Qur’an)
dan rasul (al-Hadits)
jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah SWT dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih
baik takwilnya ” (QS. Al-Nisa’:59).
Bila diteliti dan ditelaah secara seksama dan komprehensip
terlihat bahwa kedua ayat tersebut mencakup rukun-rukun sebuah
khilafah atau pemerintahan
yang terdiri dari; pertama, para
pemegang kekuasaan hukum ialah wullatul amr (pemerintahan yang
sah)
sesuai petunjuk syar’i dan menjalankan hukum-hukum syari’at.
Kedua, al-Ummah (masyarakat) mempunyai
kewajiban untuk tunduk
dan taat pada ulil amr .
Ketiga,
peraturan, perundang-undangan dan
disiplin
hukum yang berlaku yaitu syari’at agama Islam.
Pembahasan tentang
kepemimpinan yang bersumberkan pada dalil
Hadits Nabi Muhammad
SAW, cukuplah banyak diantaranya yang
cukup populer adalah
”Setiap kamu adalah pemimpin dan
setiap kamu bertanggungjawab atas kepemimpinannya, seorang
imam adalah pemimpin
dan ia bertanggungjawab atas
kepemimpinannya. Seorang suami
adalah pemimpin pada anggota keluarganya dan ia bertanggungjawab atas
kepemimpinannya”. (HR. Buhori).
Tak
kalah jelasnya adalah Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Muslim
yang artinya, ”Barangsiapa
melepaskan tangan dari mentaati (imamnya), ia akan menemui
Allah pada hari kiamat tanpa punya pembela bagi dirinya. Barangsiapa mati
sedangkan dirinya tidak ada bai’at
(kepada imam) maka
ia mati dalam
keadaan Jahiliyah” (HR. Muslim).
Hadits
yang kedua ini yang dijadikan rujukan dan pedoman bagi sebagian
umat Islam yang
mengikatkan diri dalam
sebuah bai’at kepemimpinan. Sekalipun
hal tersebut terkesan
sangat dipaksakan dan mengada-ada
yang berakibat pada
penafian
539 Edukasi , Volume 02, Nomor 02, November 2014: 533-549
rasionalitas dan akal
pikiran yang sehat. Pemahaman yang
kurang tepat
terhadap Hadits tersebut
berakibat pada pengkultusan kepemimpinan yang
berlebihan. Bahkan melebihi kepada Tuhan dan Nabi-nya. Padahal Nabi sendiri
telah mengingatkan umatnya untuk tidak
mengkultuskan pemimpin. Karena
dihadapan Allah SWT semua
sama yang membedakan
hanyalah kadar keimaman
dan ketaqwaannya.
Sekalipun
demikian, tidak berarti umat Islam kurang peduli dan tidak
perhatian terhadap masalah
kepemimpinan. Semuanya
diatur dan diukur
secara adil dan
bijaksana. Disepakati kalangan ulama’ dan fuqaha bahwa terdapat
keharusan adanya seorang imam guna menyatukan suara umat dan mengurus
kepentingan keduniaan maupun keagamaannya.
Kesadaran
akan pentingnya masalah kepemimpinan, maka sepeninggal Rasulullah SAW, para
sahabat menaruh perhatian besar untuk segera memilih dan mengangkat seorang
imam. Abu Bakar akhirnya dipercaya untuk mengemban amanah berat tersebut yang
kemudian dikenal dengan istilah khalifah. Umat Islam pun terhindar dari keretakan dan perpecahan.
Tidak
dipungkiri mendalami ajaran Islam yang agung dan benar, memilih seorang
pemimpin bukan tujuan final dari substansi agama, tetapi
ia merupakan kelaziman
zaman. Disadari bahwa
kewajiban
agama tidak mungkin diterapkan secara komprehensip dan
simultan
tanpa adanya pranata-pranata yang kongkrit.
Pranata-pranata tersebut
dimungkinkan untuk
melaksanakan kewajiban syari’at
ilahiyah. Maka dalam
sebuah kaidah fiqih dinyatakan, ”Mala yatimmu al-wajibu illa bihi fahuwa
wajibun” (Jika kewajiban tidak bisa sempurna kecuali dengannya, maka ia
hukumnya adalah wajib).11
Kesempurnaan
tegaknya nilai-nilai al-Qur’an dan al-Hadits dalam suatu masyarakat, bangsa dan
negara hanya dapat diwujudkan dengan
sesungguhnya bila didukung
oleh pranata yang mengiringinya. Imam
atau pemimpin adalah
pranata yang mengiringi
terwujudnya tegaknya nilai-nilai al-Qur’an dan al-Hadits, maka adalah
wajib hukumnya bagi
masyarakat muslim untuk memilih dan menetapkan seorang
pemimpin.
Imam al-Mawardi dalam
kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah
sebagaimana yang dikutip Iqbal mengatakan, ” Aqdul imamati liman
yaqumu
biha fi al-Ummati wajibun bil ijma’i ” (mengangkat imam
untuk mengurusi
umat hukumnya adalah
wajib menurut ijma’).
Konsep Kepemimpinan dalam Islam
– Ahmadireja 540
Sehingga ia
bisa mengurusi umat
agar agama terjaga
dengan wewenangnya dan berjalan
sesuai dengan rule dan menurut sunnah- sunnah agama dan hukum-hukumnya.
Bagi seorang
fuqaha sebagaimana Imam
Ahmad ibn Hambal mengatakan, bila
tidak adanya seorang pemimpin maka akan berakibat timbulnya suatu fitnah.
Fitnah ini harus dicegah karena
berakibat pada kehancuran
dan kerusakan ( fasad). Mencegah
kehancuran
dan kerusakan adalah kewajiban.
Mengangkat seorang imam atau pemimpin adalah wajib. Karena itu
utamakan dan segerakan serta tak boleh ditunda-tunda.
Perkataan beliau yang populer dalam hal ini adalah, ” al-Fitnatu
idza
lamyakun imamun
yakumu bi amrinnasi ”
(Adalah fitnah apabila
tidak
ada imam yang berdiri mengurusi manusia).
Pemahaman yang
bijak dan mulia
tentang pentingnya sebuah kepemimpinan
juga dikemukakan oleh
generasi-generasi sesudahnya, Syeikhul Islam Ibn Taymiyah yang hidup pada abad pertengahan menyatakan bahwa
membentuk pemerintahan dengan jalan
religuitas dan mengangkat
kepemimpinan sesuai dengan
syari’ah adalah manhaj (jalan) merintis ketentraman untuk
menjaga
umat
dan menjaga harta benda.
Prinsip Dasar Pemimpin
Impian dan
harapan besar umat
terhadap pemimpin,
mengantarkan betapa penting
dan berartinya peran
seorang pemimpin dalam mendesain sebuah masyarakat, bangsa dan negara.
Sejarah membuktikan, kejayaan dan keemasan sebuah bangsa sangat ditentukan oleh kualitas dan kapasitas
para pemimpinnya.
Sebaliknya sebuah
bangsa yang sebelumnya
besar dan beradab hancur dan tak
berarti karena kerakusan, keserakahan dan buruknya sikap mental para pemimpinnya. Suatu contoh, hancurnya Daulah Umayyah
dan Daulah Abbasiyah,
lebih disebabkan oleh karena penerus tahta mahkota
kekhalifahan berada di tangan-tangan
pemimpin yang lemah
dan tak bermoral. Hubbuddunnya (cinta
dunia) lebih kentara
dan lebih lekat
dibanding dengan hubbul-
akhirah
(cinta akhirat).
Islam memberikan
dasar-dasar normatif dan
filosofis tentang kepemimpinan
yang bersifat komprehensip dan universal. Tidak hanya untuk umat Islam
tapi juga untuk seluruh umat manusia. Prinsip-prinsip kepemimpinan dalam Islam
adalah sebagai berikut;
pertama, hikmah,
ajaklah manusia ke
jalan Tuhan-mu dengan
hikmah dan
nasehat yang baik
lagi bijaksana (QS.
al-Nahl:125).
541 Edukasi , Volume 02, Nomor 02, November 2014: 533-549
Kedua, diskusi, jika ada
perbedaan dan ketidaksamaan pandangan,
maka seorang pemimpin
menyelesaikan dengan diskusi dan bertukar pikiran (QS. al-Nahl:125).12
Ketiga , qudwah,
kepemimpinan menjadi efektif
apabila
dilakukan tidak hanya
dengan nasihat tapi juga dengan ketauladanan yang baik dan bijaksana (QS.
al-Ahdzab:21). Pepatah mengatakan, satu ketauladanan yang baik lebih utama dari
seribu satu nasehat. Memang kesan dari sebuah keteladanan lebih melekat dan membekas
dibanding hanya sekedar nasehat seorang pemimpin.
Keempat, musyawwarah,
adalah suatu bentuk
pelibatan
seluruh komponen
masyarakat secara proporsional
dalam keikutsertaan dalam pengambilan
sebuah keputusan atau kebijaksanaan (QS.
Ali Imran:159, QS.
As-Syura:38). Dengan musyawwarah,
maka tidak ada suatu permasalahan yang tak dapat
diselesaikan. Tentu dengan prinsip-prinsip bilhikmah wamauidhatil
khasanah
yang harus dipegang
teguh oleh setiap
komponen
pemerintah
atau imamah.
Kelima, adl,
tidak memihak pada
salah satu pihak.
Pemimpin yang berdiri
pada semua kelompok dan golongan, (QS.al- Nisa’:58&135, QS.
al-Maidah:8) Dalam memimpin
pegangannya
hanya pada kebenaran, shirathal mustaqim (jalan yang
lurus).
Timbangan dan
ukurannya bersumber pada al-Qur’an dan
al-Hadits. Kecintaannya hanya karena
Allah dan kebencian pun hanya karena Allah.
Hukum menjadi kuat tidak hanya saat berhadapan dengan orang lemah, tapi
juga menjadi kuat saat berhadap-hadapan dengan orang kuat.
Keenam, kelembutan
hati dan saling
mendoakan.
Kesuksesan dan
keberhasilan Rasulallah dan
para sahabat dalam memimpin umat, lebih banyak didukung
oleh faktor performa pribadi Rasul dan para sahabat yang lembut hatinya, halus
perangainya dan santun perkataannya. Maka Allah SWT menempatkan Muhammad
Rasulallah sebagai rujukan
dalam pembinaan mental
dan moral sebagaimana firmannya, ”Laqad
kana lakum fi Rasulillahi uswatun hasanah” (Sungguh ada pada diri Rasul suri
tauladan yang baik), (QS. al-Ahdzab:21 dan al-Qalam:10).
Ketujuh, dari
prinsip dasar kepemimpinan
Islami adalah
kebebasan berfikir,
kreativitas dan berijtihad.
Sungguh amat luar biasa, sepeninggal Rasulallah para
sahabat dapat menunjukkan diri sebagai sosok pemimpin yang mandiri, kuat,
kreatif dan fleksibel.
12
Wibowo, SHOOT, Sharpening
our Concept and
Tools (Bandung: PT
Syamil Cipta Media, 2002), hlm. 287.
Konsep Kepemimpinan dalam Islam
– Ahmadireja 542
Kelembutan pribadi
Abu Bakar (khalifah
ke-1) tak menjadikan dirinya
menjadi sosok pemimpin
yang lemah, malah sebaliknya ia menjadi pemimpin yang
kuat dan tangguh. Tak gentar menghadapi
musuh-musuh Islam. Ketegasan
beliau dibuktikan dengan
kesungguhan memerangi para pemberontak, nabi palsu dan kaum yang tak mau
membayar zakat.
Kebalikannya ketegaran
Khalifah Umar bin
Khattab (khalifah ke-2) akhirnya menjadi sosok yang lembut, sederhana
dan bersahaja. Sekalipun ia
seorang khalifah dan
menyandang gelar
amirul
mu’minin , tak menjadikan kehidupan
diri dan keluarganya
berubah
drastis, bergelimang harta dan tahta
atau menampilkan diri
sebagai sosok pembesar yang suka ” petentang-petenteng ” dan pamer
kekuasaan.
Yang terjadi
justru sebaliknya, Umar
bin Khattab lebih
menampakkan diri sebagai sosok
yang low profil high produc .
Tak
salah kiranya bila
banyak rakyatnya dan pejabat negara lain yang terkecoh dengan penampilan
fisiknya dan tak mengira bahwa yang berdiri
dihadapannya adalah seorang
khalifah yang disegani
dan dicintai rakyatnya.
Dua sosok
pemimpin penerus Rasulallah
yang berbeda karakter tersebut,
disaat sama-sama diberi amanah untuk memimpin umat dan mengelola roda
pemerintahan yang tampak adalah sosok pemimpin yang banyak dipengaruhi dan
diwarnai oleh nilai-nilai al- Qur’an dan al-Hadits. Tidak sebagai pemimpin yang dipengaruhi dan
dikuasai oleh karakter pribadi dan hawa
nafsu.
Kedelapan ,
sinergis membangun kebersamaan.
Mengoptimalkan sumber
daya insani yang ada. Hebatnya Rasulullah salah satunya adalah kemampuan beliau
dalam mensinergikan dan membangun
kekuatan dan potensi
yang dimiliki umatnya.
Para sahabat dioptimalkan keberadaannya. Keberbedaan
potensi yang dimiliki sahabat dan
umat dikembangkan sedemikian rupa, sehingga menjadi pribadi-pribadi yang
tangguh baik mental
maupun spritualnya.
Berbagai
misi kenegaraan dipercayakan Rasulallah kepada para sahabatnya
seperti misi ke
Habasyah, Yaman, Persia
dan Rumawi. Muncullah sosok-sosok
sahabat seperti Abu
Dzar Al- Ghifari, Mu’adz bin
Jabal, Salman al-Farisi dan Amr bin Ash. Dalam usia yang relatif muda, mereka
sudah memimpin berbagai ekspedisi kenegaraan dan berbagai pertempuran penting.
543 Edukasi , Volume 02, Nomor 02, November 2014: 533-549
Syarat Pemimpin
Prinsip dasar
pemimpin tersebut sebagaimana
yang digariskan dalam al-Qur’an
dan Sunnah Nabi,
dalam perkembangannya mengalami perluasan
arti dan pemahaman. Bahkan tak jarang mengalami
pembiasan yang jauh dari prinsip dasar yang sesungguhnya. Hal ini tak lepas
dari ”hiruk pikuk” kepentingan politik dan kepentingan kelompok atau golongan.
Konsekuensi dari
kondisi tersebut pada
akhirnya berpengaruh pada penentuan syarat-syarat seorang pemimpin yang
dirumuskan oleh para ulama dan fuqaha. Pendapat dan ijtihad mereka sangat tergantung
dan ditentukan oleh
situasi dan kondisi
yang mengitarinya. Seperti pendapat para ulama dan fuqaha.
Al-Mawardi, tokoh utama dari kalangan Qadhi
yang hidup pada abad pertengahan
menyebutkan syarat utama
bagi seorang
pemimpin yaitu; (1) adil dalam arti yang luas, (2) punya ilmu untuk
dapat
melakukan ijtihad di dalam menghadapi persoalan-persoalan
dan hukum,13 (3) sehat
pendengaran, mata dan lisannya supaya dapat
berurusan langsung dengan
tanggungjawabnya, (4) sehat badan,
sehingga tidak
terhalang untuk melakukan
gerak dan melangkah
cepat, (5) pandai
dalam mengendalikan urusan
rakyat dan
kemaslahatan umum,
(6) berani dan
tegas membela rakyat
dan menghadapi musuh, dan (7) dari keturunan Quraisy.
Ibn
Hisyam, ulama fiqih besar pada zamannya menyebut lima syarat yang harus ada
pada diri seorang pemimpin. Syarat ini lebih
sederhana dibandingkan dengan
al-Mawardi, yaitu; (1)
dari
kalangan Qurasy, (2) baligh,
merujuk pada sabda
Nabi, ” Pena
diangkat dari tiga golongan, anak-anak
sampai dewasa, orang gila
sampai
sembuh, dan orang tidur sampai sadar” ,14 (3) laki-laki,
dasar yang
digunakan adalah sabda
Rasulullah, ”Tidak akan beruntung suatu
kaum yang menyerahkan
urusan mereka kepada seorang perempuan”,
(4) muslim, karena
Allah SWT berfirman ”Allah tidak
akan memberikan jalan
kepada orang kafir
untuk
(menguasai) kaum mukmin” (QS. An-Nisa’:141), dan (5) paling
menonjol di
dalam masyarakatnya, mengetahui
hukum-hukum agama, secara keseluruhan
taqwa kepada Allah
SWT, dan tidak diketahui berbuat fasik.
Al-Ghazali, dalam beberapa bukunya secara ringkas juga membicarakan tentang
syarat-syarat seorang pemimpin.
Ia mengatakan, ”Tidaklah diragukan
bahwa menentukan seseorang
13 Yusuf Musa, Politik
dan Negara dalam Islam (Surabaya:
Al-Ikhlas, 1990),
hlm. 59.
Konsep Kepemimpinan dalam Islam
– Ahmadireja 544
untuk dijadikan imam
sekedar menuruti selera tidaklah boleh. Dia haruslah orang yang memiliki
keistimewaan dibandingkan dengan seluruh orang yang ada”. Al-Ghazali kemudian
menyebutkan syarat-
syarat
sebagai berikut; (1)merdeka, (2) laki-laki,
(3) mujtahid, (4)
berwawasan
luas, (5) adil, (6) baligh, dan (7) tidak boleh wanita.15
Ibn
Khaldun,16 seorang kritikus yang tajam
dan pembangun sosiologi juga mengetengahkan beberapa syarat yang harus dipenuhi
oleh seorang yang
menduduki jabatan sebagai
seorang imam
(pemimpin) yaitu; pertama, berilmu, karena ia menjadi
pelaksana
hukum Allah SWT. Ia harus mujtahid dan tidak bertaklid. Kedua,
adil, pemimpin
adalah jabatan tertinggi,
selain menduduki dan meliputi jabatan keagamaan juga jabatan
politik di tengah-tengah umat dan negara.
Ketiga,
punya kemampuan,
adalah keberanian untuk
menegakkan hukum dan
menghadapi musuh, ahli strategi dan pandai memobilisasi masyarakat, arif dan
peka terhadap keadaan serta kuat
di dalam mengendalikan
politik, keempat, sehat
badan seperti
selamat dari buta,
bisu, tuli dan pekak serta selamat dari cacat mental seperti gila dan hilang
akal.
Disadari oleh
Ibn Khaldun cacat
fisik dan mental berpengaruh terhadap aktivitas fisik
dan berpikir serta menjalankan tugas yang semestinya diemban. Sekiranya cacat
sebagian saja, tetap mengurangi kesempurnaan sebagai seorang pemimpin yang
tingkat mobilitasnya tinggi. Maka Ibn Khaldun tetap pada pendirinya yaitu
memandang kurang memenuhi syarat bagi mereka yang mempunyai cacat fisik untuk
menjadi seorang pemimpin.
Albaqilani,
seorang ulama besar membahas secara panjang lebar tentang syarat yang harus
dipenuhi oleh seorang imam, terdiri dari; (1) orang Qurasy asli, (2) memiliki
ilmu yang tarafnya sama dengan seorang qadhi, 93) harus memiliki pengetahuan
yang dalam mengenai urusan perang, (4) kemiliteran dan pasukan tempur, (5)
mampu melindungi wilayah dan membela rakyat, dan (6) mampu melakukan pembalasan
terhadap orang berlaku dhalim dan
membela orang teraniaya dengan segala kepentingan yang menyangkut urusan umat.
Selain itu,
seorang pemimpin tidak
lemah hati, tidak gampang iba dalam penegakan hukum dan
tidak pula bersikap lemah mengambil tindakan terhadap pelanggar hukum. Ia harus
menjadi contoh dalam keilmuan dan masalah-masalah lain yang memberikan nilai
lebih padanya.
15
|
Ibid., hlm. 59.
|
16 |
Ibid., hlm. 72.
|
545 Edukasi , Volume 02, Nomor 02, November 2014: 533-549
Berdasar
pada pendapat-pendapat para ulama dan fuqaha tentang syarat seorang imam
sebagaimana dipaparkan diatas, bila dikaji lebih mendalam menunjukkan bahwa
persyaratan-persyaratan tersebut sangat ditentukan oleh situasi dan kondisi
politik dimana para ulama dan
fuqaha berada. Dan
juga sejauhmana kedekatan ulama dan penguasa pada saat itu.
Sehingga fatwa yang disampaikan sangat diwarnai oleh kondisi politik yang
mengitarinya.
Suatu contoh
persyaratan fisik yang
cukup ketat yang dikemukakan oleh
Ibn Khaldun, tak
lepas dari kemajuan
dan tingginya mobilitas yang dilakukan pemimpin pada saat itu sebagai
cermin dari masyarakat
yang maju. Demikian
pula persyaratan tentang orang
Qurasy, yang dikemukakan
oleh Ibn Hisyam,
al- Baqilani dan al-Mawardi tak lepas dari keberadaan mereka di Jazirah
Arabia khususnya dan
Timur Tengah pada
umumnya. Sehingga fatwa-fatwa
yang mereka sampaikan sangat kontekstual.
Namun demikian
bila ditarik batas
merah pemikiran mereka, sesungguhnya
ada kesamaan diantara
para ulama dan fuqaha. Kesamaan itu lebih bersifat mayor
dari pada minor, yaitu;
Pertama, persyaratan
yang bersifat fisik.
Artinya,
pemimpin harus
memiliki fisik yang prima, sehat, dan kuat. Sebagai ikhtiar untuk
mendukung tugas dan
tanggungjawabnya. Sehingga
mobilitasnya berjalan dengan
normal, lancar dan
tidak terganggu oleh fisik.
Kedua, persyaratan
yang bersifat mental
dan spritual.
Seorang pemimpin
dituntut untuk memiliki kualitas mental pribadi yang teruji seperti jujur, adil
dan terpercaya. Ia sosok orang yang beriman
dan bertaqwa. Kualitas
pengamalan agamanya tidak diragukan, dekat
dengan Tuhannya dan
dekat pula dengan
sesamanya. Hablum
minallah dan hablum minannas sama-sama
terjaga
dengan baik..
Ketiga , persyaratan yang bersifat keahlian dan
kemampuan.
Maksudnya seorang
pemimpin itu harus berilmu, berwawasan luas, cerdas, kompeten, profesional dan bertanggungjawab.
Kepemimpinan Nabi dan Rasul
Kepemimpinan
yang sempurna itu hanyalah ada pada diri Nabi dan Rasul. Karena mereka adalah
hamba pilihan Allah SWT. Adalah wajar bila umat menjadikan para Nabi dan Rasul
itu sebagai rujukan dan tauladan
dalam kepemimpinan. Salah
satu caranya dengan menghidupkan
kembali nilai-nilai universal kepemimpinan
Konsep Kepemimpinan dalam Islam
– Ahmadireja 546
para Nabi dan Rasul.
Nilai-nilai universal tersebut kita tampilkan dalam perspektif kepemimpinan
mutakhir saat ini.
Diantara Nabi
dan Rasul yang
teristimewa dihadapan Tuhannya
adalah Muhammad Rasulallah. Oleh sebab itu, adalah hal yang seharusnya
bagi umat Islam
untuk menjadikan figur Muhammad SAW sebagai suri tauladan yang
baik. Termasuk dalam hal kepemimpinan.
Allah SWT
menyatakan, ”Sesungguhnya telah
ada pada (diri) Rasulallah
itu suri tauladan yang
baik bagimu (yaitu)
bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat
dan dia banyak menyebut Allah” (QS. Al-Ahdzab:21).
Pada Surat
yang lain Allah
juga mengatakan bahwa, ”Sesungguhnya engkau (Ya Muhammad)
mempunyai budi pekerti yang amat tinggi (mulia)” (QS. Al-Qalam:4). Kemudian
dipertegas lagi oleh Allah dalam firman-Nya,
”Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah” (QS. Al-Hasyr:7).
Berdasar
tiga Surat tersebut, menjadi jelas bagi kita bahwa Muhammad Rasulullah adalah
hamba Allah yang diutus dan dipilih untuk dijadikan model atau untuk dijadikan
tauladan dalam semua aspek
kehidupan bagi umat
sesudahnya. Termasuk salah
satunya dalam hal kepemimpinan. Ada empat model kepemimpinan yang melekat
pada diri Nabi Muhammad SAW., yaitu :
Siddiq,
secara etimologis berarti
benar, jujur, apa adanya,
dan tidak
menyembunyikan sesuatu. Ia merupakan lawan kata dari dusta. Dalam konteks yang
berbeda, siddiq juga diartikan sebagai
suatu yang haq. Siddiq terbagi dalam tiga kategori; (1) siddiq
dalam
perkataan, (2) siddiq
dalam sikap, dan (3) siddiq dalam perbuatan.
Dalam kehidupannya
para Nabi dan
Rasul senantiasa menjunjung
tinggi nilai-nilai kebenaran dan kejujuran. Terhindar dari perkataan, sikap dan
perbuatan tidak terpuji, seperti
berbohong dan berdusta. Sebagai pemimpin spritual, disamping juga kepala negara
dan public figure, Nabi
Muhammad SAW semenjak
kecil sudah
memposisikan diri dengan sikap dan prilaku yang
siddiq . Disamping
atas
kehendak Allah, juga karena kepribadiannya yang mulia lagi
agung. Sehingga oleh
masyarakat Qurasy diberi
gelar al-Amin
(terpercaya).
Amanah, secara etimologis
berarti kejujuran, kepercayaan,
titipan dan terkadang
diartikan juga dengan keadaan aman. Amanah dibagi dua; amanah dari Allah kepada
manusia dan amanah manusia kepada manusia (QS. Al-Ahdzab:72). Amanah yang
pertama berupa
547 Edukasi , Volume 02, Nomor 02, November 2014: 533-549
kemampuan berlaku
adil dan tugas-tugas
keagamaan, sedangkan amanah
bentuk kedua adalah mewakilkan kepada orang lain untuk memelihara hak-haknya.
Taba’ taba’iy dalam kitab tafsirnya al-Mizan mengartikan
amanah sesuatu
yang dipercayakan Allah
kepada manusia untuk memeliharanya demi
kemaslahatan, kemudian amanat
itu dikembalikan pada Allah sebagaimana yang dikehendakinya.
Bagi Rasulullah
kepemimpinan adalah amanah
yang pertanggungjawabannya tidak hanya kepada sesamanya namun juga
kepada Allah SWT. Sebagai seorang pemimpin agama, pemimpin negara dan
pemimpin umat, Muhammad
Rasulallah telah menunjukkan
kapasitas pribadinya yang amanah.
Tabligh, menurut
bahasa artinya menyampaikan,
mengutarakan, memberi
atau mengeluarkan sesuatu kepada orang lain. Diperluas lagi juga dapat
diartikan sebagai suatu ajakan atau dakwah. Karena tugas Nabi dan Rasul adalah
menyampaikan risalah dan firman Allah kepada umat manusia.
Risalah
yang disampaikan kepada kaumnya dan atau untuk universalitas umat manusia
berisi tentang perintah dan larangan. Tak berhak baginya menambah atau
mengurangi. Allah memerintahkan padanya
untuk menegakkan yang
makruf dan mencegah
yang mungkar serta berlaku bijaksana dalam kedua urusan tersebut, (QS.
Ali Imran: 110 dan QS. Al-Nahl:90).
Kepemimpinan erat
kaitannya dengan tugas
dan tanggungjawab untuk menyampaikan
sesuatu kepada umat
yang dipimpinnya. Hukum dan
aturan yang dibuat
Allah dan diperuntukkan pada umat
manusia adalah tugas mulia yang harus
disampaikan para Nabi dan Rasul kepada kaumnya agar terwujud suatu tatanan
kehidupan yang bahagia
di dunia dan
bahagia di akhirat. Disamping
memang karena kehendak Allah, para Nabi dan Rasul tersebut telah menjalankan
tugas dengan seindah-indahnya dan sebaik-baiknya.
Fathanah,
artinya cerdik, pandai, cerdas, pintar dan masih
banyak arti lain yang
semisal. Cerdik digunakan untuk membangun dan merancang sebuah strategi atau
siasat. Pandai digunakan untuk menyelesaikan
suatu masalah. Cerdas
berguna untuk percepatan penyelesaian sebuah
problem, sedangkan pintar
digunakan untuk mecari berbagai
macam alternatif penyelesaian terbaik.
Sebagai
hamba pilihan, para Nabi dan Rasul oleh Allah SWT dianugerahi tingkat kecerdasan dan kepandaian yang
melebihi dari kecerdasan dan kepandaian hamba-Nya yang lain. Kecerdikan
Konsep Kepemimpinan dalam Islam
– Ahmadireja 548
dan kepandaian
tersebut dipergunakan untuk
merancang cita-cita
luhur umat manusia yaitu; fiddunya hasanah wafil akhirati hasanah
(bahagia
di dunia dan bahagia pula di akhirat).
Keempat model
kepemimpinan para Nabi
dan Rasul
sebagaimana yang dikemukakan di atas; siddiq, amanah, tabligh dan
fathanah
adalah sebuah sifat dan karakter terbaik untuk dijadikan
tauladan dalam
mengembangkan potensi kepemimpinan
individu maupun kelompok.
Nilai-nilai yang terkandung
dalam sifat siddiq, amanah,
tabligh dan fathanah memiliki kekuatan yang dahsyat
dan luar biasa.
Keempatnya adalah
satu kesatuan yang
sinergis dan saling melengkapi. Variabel dari sifat-sifat tersebut
sudah teruji kesuksesan dan keberhasilannya. Sebagaimana sukses dan berhasilnya
para Nabi dan Rasul.
Karakter
kepemimpinan sebagaimana yang ada pada Nabi dan Rasul sudah terbukti
keberhasilannya. Tugas kita sekarang hanya tinggal mengembangkan karakter
kepemimpinan tersebut agar lebih
adpatif dan up
to date dengan perkembangan zaman dan waktu.
Penutup
Kepemimpinan dalam
Islam menempati posisi
yang sangat strategis. Karena
kepemimpinan adalah sebuah
instrumen untuk mencapai cita-cita
luhur sebuah bangsa
dan negara. Yaitu
terwujudnya suatu bangsa yang ” baldatun thayyibatun wa rabbun
ghafur” (bangsa yang baik,
sejahtera dan dibawah lindungan Allah
SWT). Oleh sebab itu,
Islam menaruh perhatian yang cukup besar terhadap masalah kepemimpinan.
Kajian
kepemimpinan dalam Islam, term yang digunakan
adalah kata khalifah, imam, ulil amr dan al-mulk. Pengertian dari
masing-masing term
merujuk pada sebuah
kemampuan seseorang untuk
memposisikan diri sebagai leader (pemimpin) dan leadership (kepemimpinan).
Besar dan
beratnya tugas yang
diemban seorang pemimpin, maka
dipersyaratkan padanya sebuah persyaratan yang kompleks dan komprehensip, meliputi
tiga persyaratan utama yaitu; (1)
persyaratan fisik, (2)
persyaratan mental-spritual, dan
(3) persyaratan keahlian dan kemampuan.
Karakter kepemimpinan yang
telah menunjukkan kesuksesan dan
keberhasilan dan ini yang perlu dijadikan tauladan
adalah karakter kepemimpinan para Nabi dan Rasul yaitu ; siddiq,
549 Edukasi , Volume 02, Nomor 02, November 2014: 533-549
amanah,
fathanah dan tabligh . Empat karakter
kepemimpinan ini
yang perlu
dikembangkan seiring dengan perkembangan zaman dan waktu.
Daftar Pustaka
Agustian, Ary G. Rahasia
Sukses Membangun Kecerdasan
Emosional dan Spritual.
Jakarta: Arga. 2006.
Amahzun, Muhammad. Manhaj Dakwah Rasulallah SAW . Jakarta:
Qisthi
Press. 2004.
Depag
RI. Akhlak–Tauhid.
Jakarta: Ditjen Bimbaga Islam. 1983.
Hamka, Buya. Doktrin
Islam yang Menimbulkan Kemerdekaan dan
Keberanian.
Jakarta: Yayasan Idayu. 1983.
Hanafi.
Pengantar Theology Islam.
Jakarta: Pustaka al-Husna. 1987.
Iqbal M & Ali Fattah. Negara Ideal Menurut Islam, Kajian Teori
Khilafah
dalam Sistem Pemerintahan Modern . Jakarta: Ladang
Pustaka
& Intimedia. 2002.
Reynolds, Joe. Kepemimpinan Garis
Terdepan, Menemukan,
Mengembangkan
dan Menjalankan Potensi Anda . Yogyakarta:
Aditya
Media. 1996.
Musa, Yusuf M. Politik dan Negara dalam Islam . Surabaya: Al-
Ikhlas.
1990.
Nasution dkk. Ensiklopedi Islam
Indonesia . Jakarta:
Djambatan.
2002.
Wibowo dkk. SHOOT,
Sharpening Our
Concept and Tools .
Bandung:
PT Syaamil Cipta Media. 2002.
Wahyudi, Nafiri Imam. Sistematika Ajaran
Islam . Malang:
Universitas
Brawijaya. 1997.